I. PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pinang
(Areca catechu) merupakan tumbuhan famili Arecaceae atau palem-paleman yang dapat mencapai tinggi 15-25 meter dengan batang tegak lurus.
Tumbuhan
ini berbunga pada awal dan
akhir musim hujan serta
memiliki masa hidup 25-30 tahun.
Ada
beberapa jenis pinang diantaranya pinang kuning
(Areca cathecu var alba),
pinang seribu (Areca
macrocalyx Zipp. ex Blume), pinang kelapa (Actinorhytis
calapparia (Bl.) Wendl) dan pinang merah (Areca
vestiaria). Pinang telah banyak dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan, misalnya untuk ramuan obat, bahan baku industri, bahan
bangunan dan tanaman pagar (Arief,
2012).
Sejarah mengenai asal
usul tumbuhan
ini masih beragam. Diperkirakan
berasal dari daratan Asia seperti Malaya, India, Indonesia dan beberapa daerah
di Kepulauan Pasifik. Sejalan dengan waktu,
jenis tumbuhan
ini mulai dikenal luas di
Indonesia karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah
meliputi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Pinang umumnya ditanam di pekarangan dan dibudidayakan serta kadang tumbuh liar
di tepi sungai dan di tempat-tempat lain (Whitmore, 1973).
Hingga saat ini dalam kawasan
Hutan Pendidikan Universitas
Hasanuddin banyak dijumpai pinang,
khususnya di kawasan Hutan Alam Palanro. Jenis tumbuhan monokotil ini
tumbuh secara berpencar
atau mengelompok pada
tempat-tempat tertentu. Menurut Nurkin
(2011), pinang yang tumbuh di kawasan tersebut merupakan
tanaman hasil budidaya bersama dengan, aren, eboni dan kemiri yang penanamannya
dilakukan pada zaman kolonial Belanda. Adapun jenis-jenis pohon yang
berasosiasi dengan pinang antara lain eboni (Diospyros celebica), aren (Arenga
pinnata), langsat (Lansium domesticum),
lento-lento (Arthrophyllum sp),
ni’ning (Myrtaceae) dan jambu (Syzigium sp). Pinang dan aren merupakan
pohon-pohon yang berada pada lapisan paling atas yaitu pada zona 20–24 m.
Sedangkan bagian paling bawah antara 0-4 m ditempati
oleh berbagai jenis-jenis tumbuhan bawah dan anakan pohon-pohon dari berbagai
spesies termasuk anakan eboni dalam
tingkat pertumbuhan semai maupun pancang.
Hubungan atau asosiasi yang terjadi antara pinang dan
tumbuhan lainnya merupakan asosiasi positif dan negatif. Asosiasi positif
terjadi ketika pinang dapat berfungsi sebagai pohon penaung bagi anakan pohon
lain yang masih dalam tahap semai sampai tingkat tiang sehingga dapat mendukung
pertumbuhan dan menghasilkan anakan pohon yang cukup melimpah. Sedangkan apabila
anakan pohon sudah tumbuh menjadi lebih besar maka ada kemungkinan terjadi
asosiasi negatif
yaitu ketika pohon pinang yang pertumbuhannya rapat menghambat cahaya masuk ke
lantai hutan sehingga mengganggu pertumbuhan tumbuhan lain yang ada disekitarnya.
Nurkin (2011)
menyatakan bahwa,
pinang merupakan salah satu tumbuhan dominan,
dimana jumlahnya lebih banyak dari jenis lainnya.
Dengan demikian, jelas bahwa dominasi pinang akan
menghambat penetrasi cahaya ke lantai hutan dan akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman yang tumbuh berdampingan atau berada di bawah naungannya.
Eboni (Diospyros celebica) yang
merupakan
tumbuhan endemik Sulawesi yang ada di Kawasan Hutan Pendidikan diketahui anakannya sering
dijumpai berada di bawah pohon pinang. Menurut
Djuan (2010), tingkat regenerasi eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh
sifatnya yang semi-toleran, dimana
pada tingkat semai eboni membutuhkan tanaman penaung dan pada saat percabangan
sekundernya terbentuk dia membutuhkan
intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan tingkat
pertumbuhannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Santoso (2002) dalam Asrianny dan Djuan (2010) bahwa, anakan eboni dijumpai dalam
jumlah yang cukup banyak di sekitar pohon induknya. Eboni membutuhkan tanaman
pendamping, dimana tanaman pendamping
itu mempunyai laju pertumbuhan cepat, bentuk batang yang lurus dan tinggi serta memiliki masa hidup yang tidak
terlalu lama. Tanaman
pendamping ini dibutuhkan agar pertumbuhan horizontal eboni semakin maksimum. Pertumbuhan horizontal eboni akan berhenti
jika berada lebih tinggi 1,5-2 m dari tajuk pohon tanaman
pendampingnya. Jika tanaman
pendampingnya semakin tinggi, maka semakin tinggi pula eboninya.
Dengan
melihat adanya hubungan antara pinang dengan tumbuhan lain yang berada
disekitarnya, maka dukungan data
mengenai keberadaan pinang di dalam kawasan Hutan
Alam Palanro sangat dibutuhkan untuk
mengetahui sejauh mana tumbuhan pinang menguasai kawasan tersebut dan melihat
interaksi lebih jauh antara tumbuhan
pinang dengan tumbuhan lain. Penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan invasi
pinang ke dalam kawasan Hutan Alam Palanro Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui
regenerasi alami dan invasi pinang ke dalam kawasan Hutan Alam Palanro
Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Hasil
penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai faktor-faktor penting berkaitan
dengan regenerasi alami tanaman pinang yang
diharapkan dapat digunakan dalam upaya pengelolaan hutan dan pelestarian jenis-jenis tumbuhan
di kawasan tersebut di
masa mendatang.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Deskripsi Pinang (Areca catechu)
1. Sistematika
A. Klasifikasi dan Deskripsi Pinang (Areca catechu)
1. Sistematika
Klasifikasi
dari tumbuhan pinang (Areca catechu) (Aidia, 2011)
adalah sebagai berikut:
Regnum :
Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Monocotile
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Areca
Spesies : Areca catechu
2. Morfologi
Pinang merupakan tanaman famili Arecaceae yang
dapat mencapai tinggi 15-25 meter dengan batang berbentuk bulat dan tegak lurus. Pembentukan
batang baru terjadi setelah 2 tahun.
Tanaman
ini mulai berbunga pada
umur 4-6 tahun dan berbuah
pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Bunganya berbentuk rangkaian (infloresence),
berupa tandan yang terletak di bawah pelepah daun. Setiap tandan bunga ditutupi
oleh seludang (spathe)
yang panjangnya rata–rata 75 cm.
Buah
pinang berbentuk bulat telur,
panjang buah antara 3-7 cm
dengan diameter buah antara 4-5 cm. Buah pinang terdiri atas 3 lapisan yaitu
lapisan luar (epicarp) yang tipis,
lapisan tengah (mesocarp) berupa
serabut dan lapisan dalam (endocarp)
berupa biji. Buah
berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi jingga atau merah
kekuningan setelah masak
(Arief, 2012). Pada batang terdapat bekas–bekas
daun yang dapat dipakai untuk menduga umur tanaman. Pinang yang baru tumbuh
tunasnya berakar tunggang, namun karena perkembangan akar tersebut maka makin
lama tumbuh akar-akar
lainnya, sehingga fungsi dan bentuknya sama seperti akar serabut. Banyaknya
akar serabut tergantung dari kesuburan tanah, iklim setempat dan kesuburan
tanaman. Ada
beberapa jenis pinang,
diantaranya adalah pinang
kuning (Areca
cathecu var alba), pinang seribu (Areca
macrocalyx Zipp. ex Blume), pinang kelapa (Actinorhytis
calapparia (Bl.) Wendl) dan pinang merah (Areca
vestiaria).
Salah satu jenis
pinang yang sudah dikenal masyarakat adalah pinang sirih. Tanaman
ini tumbuh satu-satu,
tidak berumpun seperti jenis palem umumnya.
Batang
lurus agak licin tinggi dapat mencapai 25 m
dengan diameter batang atau jarak antar-ruas
batang sekitar 15 cm. Garis
lingkaran batang tampak jelas. Buah berbentuk bulat telur,
mirip telur ayam, dengan ukuran sekitar 3,5-7,7 cm. Buah berwarna hijau sewaktu muda dan merah
jingga atau merah kekuningan saat masak tua (Arief, 2012).
3.
Penyebaran
Pinang
adalah jenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia
dan Afrika Bagian Timur. Di Asia penyebarannya meliputi Indonesia, China, India,
Pakistan, Maldivas, Taiwan dan Nepal. Tanaman ini sudah dikenal luas di
Indonesia karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah
diantaranya Sumatera, Kalimantan, Papua dan Sulawesi (Miftahorrachman and Maskromo, 2007). Di Sulawesi selatan tanaman pinang terdapat salah
satunya di Kabupaten Maros. Tanaman ini memiliki
nama daerah seperti jambe, penang, wohan (Jawa), pineung, pining, boni (Sumatera), alosi/nyangan/luguto (Sulawesi) dan
bua/winu (Maluku) (Budiman, 2012).
Setiap tanaman memerlukan syarat tumbuh yang berbeda,
bila tanaman berada di tempat yang sesuai dengan syarat tumbuhnya maka akan
memberikan dampak yang baik sehingga menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang
optimal. Pinang dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 1-1.400 meter dpl (diatas permukaan laut). Membutuhkan
curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun dengan bulan basah antara 3-6 bulan atau tersedia air sepanjang tahun (pada lahan
pasang surut). Selain itu pinang dapat
tumbuh dengan baik pada suhu optimum antara 20º-32º C, dengan kelembaban udara
antara 50-90 %. Keasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman pinang (pH)
adalah sekitar 4-8. Tanaman pinang memerlukan penyinaran langsung untuk
pertumbuhannya di lapangan untuk memperoleh produksi secara optimal (Dermawan, 2008).
4.
Kegunaan
Pinang
merupakan tumbuhan
serbaguna diantaranya sering
dijadikan
tanaman pagar, penghijauan, bahan baku bangunan dan bagian-bagian tanaman lainnya sangat berkhasiat
menyembuhkan beberapa penyakit.
Daun
pinang mengandung minyak atsiri yang dapat mengobati gangguan radang
tenggorokan. Pucuk daun muda yang rasanya pahit pun dapat dijadikan obat nyeri
otot. Selain obat, daun pinang dijadikan sebagai pucuk pupuk hijau. Pelepah pinang dapat
dipakai sebagai bahan baku pembungkus makanan, seperti pembungkus gula merah,
gula aren dan gula tebu (Online, 2012). Biji pinang ini telah dimanfaatkan sebagai
obat sejak ribuan tahun Sebelum Masehi, terutama di Mesir.
Batang
pinang berguna sebagai bahan bangunan, jembatan dan saluran air . Tanamannya
sendiri dapat dipakai untuk mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor. Buah pinang memiliki bagian bersabut yang dapat dijadikan sebagai
bahan baku pembuatan kuas gambar atau kuas alis mata. Biji berguna untuk bahan
makanan, bahan baku industri seperti pewarna kain dan obat. Biji pinang sebagai
penyusun ramuan obat sudah masuk ke dalam daftar prioritas WHO (Word Health Organization / Organisasi
Kesehatan Dunia) yang bernaung di
bawah
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (Djufri,
2004).
B.
Regenerasi
Regenerasi
jenis-jenis tumbuhan
di alam sangat penting bagi kelestarian tanaman dan lingkungan. Regenerasi tumbuhan diawali dengan
produksi biji, perkecambahan, pertumbuhan, dan perkembangan tumbuhan. Proses ini
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti media, kelembaban, temperatur, cahaya
dan tumbuhan lain disekitarnya. Variasi dari faktor-faktor tersebut akan
mempengaruhi kemampuan regenerasi dan sebaran jenis tumbuhan pada suatu hamparan lahan. Nicotra
et al. (1999)
dalam Solikin (2011),
melaporkan bahwa jumlah dan distribusi intensitas cahaya yang dapat diterima
dan diteruskan oleh kanopi tumbuhan
dan permukaan tanah dapat berpengaruh
terhadap pola regenerasi anakan jenis-jenis tanaman. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelimpahan
anakan memiliki korelasi dengan distribusi cahaya dan jarak dengan
tanaman induknya. Dimana pada jumlah anakan tanaman lamtoro (Leucaena leocochepala) setinggi < 1,3
m berkorelasi negatif dengan jarak antara anakan dengan posisi tanaman L. leucochepala
dewasa yang berada pada tingkat penutupan vegetasi herba (Hata et al. (2010)
dalam Solikin (2011)).
Hutan
akan lestari apabila proses regenerasi tegakan berjalan baik, dengan melalui
pemudaan alam atau buatan (penanganan
manusia) yang selanjutnya membentuk interaksi yang erat, baik di antara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis (Indriyanto
(2008)
dalam Septiyani (2010)). Pemahaman tentang
struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan
identifikasi struktur akan menyebabkan kesalahan dalam memahami kondisi hutan
yang sebenarnya. Struktur hutan yang dimaksudkan adalah komponen penyusun hutan
itu sendiri. Penjelasan tentang masing-masing struktur vegetasi (Marpaung, 2011) adalah sebagai berikut:
a.
Pohon adalah tumbuhan
dengan diameter lebih dari 20 cm.
b. Tiang
adalah tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm.
c.
Pancang adalah
regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter
batang kurang dari 10 cm.
d. Semai/anakan
adalah regenerasi awal dari pohon dengan ukuran ketinggian kurang dari 1,5
meter.
e.
Tumbuhan bawah adalah
semua tumbuhan yang hidup di lantai hutan kecuali regenerasi pohon (anakan dan
pancang). Misalnya, beberapa
tumbuhan bawah diantaranya adalah keluarga palem-paleman jika tingkatan pohon
dewasanya lebih tinggi dari 1,5 meter; pandan, tidak ada kategori untuk jenis
tumbuhan bawah ini; paku-pakuan dan semak atau herba lainnya.
Secara alami, tumbuhan mampu memperbanyak dirinya melalui regenerasi.
Siklus lengkap tumbuhan diawali oleh biji yang selanjutnya tumbuh menjadi semai
(seedling), pancang (sapling), tiang (pole), dan tumbuhan dewasa atau pohon
(tree). Pada tingkatan pohon dewasa, tumbuhan akan siap untuk memproduksi biji
sebagai alat regenerasi. Tanaman pinang beregenerasi melalui bijinya yang sudah
cukup masak. Tanaman ini sangat sesuai pada daerah bertipe iklim sedang dan
agak basah. Dalam kegiatan budidaya, biasanya biji yang sudah masak disemai
dulu dan kemudian ditanam dalam polybag.
Ketika masih kecil tanaman ini cocok dijadikan hiasan dalam pot. Apabila sudah
besar sebaiknya ditanam di tanah bebas.
C.
Dispersal
Kata
dispersal berasal dari istilah ekologi untuk menggambarkan penyebaran organisme
dari tempat asalnya. Dispersal adalah gerakan individu atau bentuk kecilnya
(misalnya spora, biji, telur dan sebagainya) ke dalam atau ke luar populasi
atau daerah populasi. Atau dengan kata lain untuk memperluas daerahnya,
tumbuhan melakukan dispersal atau pemencaran/penyebaran. Menurut Odum
(1993), pengetahuan mengenai penyebaran sangat penting untuk
mengetahui tingkat pengelompokkan dari individu yang dapat memberikan dampak
terhadap populasi daripada rata-rata per unit area.
Pijl (1982) menjumpai adanya karakteristik tertentu pada
tipe-tipe buah dan biji yang diduga merupakan mekanisme alami untuk
menyesuaikan diri dengan agen penyebar buah/bijinya. Penyebaran tersebut
berlangsung dengan dua cara yaitu penyebaran tanpa bantuan luar, misalnya
proses pemecahan cangkang buah akibat panas matahari yang menyebabkan biji
terpelanting menjauhi induknya, contoh: pada petai cina, biji karet, kacang
kedelai ; dan penyebaran dengan bantuan faktor luar, yaitu penyebaran bantuan
dengan bantuan unsur abiotik (udara/angin, air, gravitasi, tanah) dan unsur
biotik (organisme lain). Faktor yang membantu proses dispersal sering disebut
sebagai agen dispersal atau penyebaran organisme.
Tumbuhan mempertahankan
jenisnya dengan melakukan dispersal. Untuk penyebaran keturunannya, tumbuhan melakukan
mekanisme alami dengan membentuk struktur morfologis tertentu maupun
melangsungkan proses-proses tertentu pada bijinya. Meskipun menurut Whitten
(1987), berbagai jenis pohon yang tumbuh dalam suatu rumpang
seringkali tidak terus-menerus menghasilkan biji-biji dalam jumlah yang besar.
Berbagai penelitian membuktikan adanya interaksi antara tanaman dengan agen
tertentu dalam mekanisme penyebaran bijinya. Agen pembantu penyebaran biji ini
dapat berupa agen biotik (burung, mamalia, serangga) maupun abiotik (angin,
air, gravitasi). Macam-macam agen penyebaran tumbuhan sebagai berikut:
1.
Penyebaran
tumbuhan dengan perantara angin
Penyebaran tumbuhan oleh
angin adalah penyebaran yang memanfaatkan hembusan angin yang membawa biji atau
buah dari tanaman jauh dari induknya ke tempat lain dan tumbuh serta berkembang
di sana. Tumbuhan yang penyebarannya dibantu oleh angin disebut dengan anemokori. Tumbuhan yang penyebarannya
dibantu oleh angin umumnya memiliki ciri-ciri biji berbulu atau berambut.
Contohnya alang-alang (Imperata
cylindrica), kapuk/kapas (Ceiba
petandra). Biji terpencar apabila tangkainya tergoyang oleh angin maka biji
akan keluar lewat lubang atau celah pada biji, contohnya opium (Papaver sp.). Biji kecil dan ringan,
contohnya anggrek (famili Orchidaceae). Buah bersayap, contohnya meranti,
tengkawang (famili Dipterocarpaceae) dan buah berambut, contohnya
Anemones sp.
2.
Penyebaran
tumbuhan dengan perantara air
Buah-buah yang penyebarannya
oleh air pada umumnya memiliki jaringan pengapung (seperti gabus) yang terisi
udara atau jaringan yang tak basah oleh air. Misalnya adalah jaringan sabut
pada buah-buah kelapa (Cocos),
ketapang (Terminalia) atau putat (Barringtonia). Tumbuhan yang
penyebarannya (biji/buahnya) dibantu oleh air disebut hidrokori. Penyebaran
secara hydrokori dapat mencapai tempat yang sangat jauh,
karena buah/biji dari tanaman itu akan terbawa oleh arus air tersebut. Ciri –
ciri dari biji dari jenis penyebaran ini adalah berbobot ringan dan memiliki
pelindung yang baik bagi embrionya (biji). Oleh karena itu, biasanya buah
pinang memiliki struktur kulit
buah dengan tiga lapis, yaitu eksokarp
dimana kulit yang paling luar mengkilap, tipis, dan kuat. Lapisan mesokarp, kulit yang tengah yang tebal
berisi rongga udara sehingga biji menjadi ringan dan mengambang di air dan endokarp memiliki kulit yang paling dalam yang
nampak kuat dan keras yang berfungsi untuk melindungi
embrio. Contoh tumbuhan yang menyebarkan bijinya dibantu oleh air adalah kelapa
(cocos nucifera), buah nyamplung (Calophyllum inophyllum), eceng gondok (Eichornia crassipes), teratai (Niphea sp.), bakau (Rhizopora sp.).
3.
Penyebaran tumbuhan
dengan perantara hewan
Penyebaran
tumbuhan dengan bantuan hewan (zookori)
biasanya terjadi pada tumbuhan yang memiliki buah berair dan buah
kacang-kacangan. Hewan yang berperan biasanya burung, kelelawar, tikus,
serangga, dan mamalia yang memakan buah tersebut. Biji dari buah yang dimakan
tidak dapat dicerna karena terlalu keras sehingga biji-biji tersebut
dikeluarkan bersama kotoran diberbagai tempat yang dilalui oleh hewan tersebut.
Penyebaran seperti ini dalam biologi biasanya disebut endozoik.
4. Penyebaran tumbuhan dengan perantara manusia
Manusia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam
persebaran tumbuhan. Penyebaran dengan perantara manusia dibedakan atas dua
yaitu penyebaran disengaja, dimana penyebaran dilakukan untuk kepentingan hidup manusia. Contohnya
kopi dan kelapa sawit yang didatangkan dari Afrika,
kina dan karet dari Amerika Selatan. Serta penyebaran tidak disengaja, misalnya melalui biji yang
menempel pada pakaian manusia dan terbawa ke daerah
bahkan ke Negara lain. Contohnya
berbagai biji rumput-rumputan. Proses penyebaran ini
disebut antropokori (Capah,
2011).
Proses dispersal pinang diantaranya sangat umum melalui
perantara manusia (antropokori).
Biasanya diambil bijinya/anakannya kemudian ditanam di pekarangan rumah
sebagai hiasan dan obat. Jika dilihat dari karakteristik buahnya,
proses dispersal tumbuhan pinang juga dibantu oleh air (hydrokori) karena memiliki jaringan pengapung (seperti gabus) serta
memiliki struktur kulit buah dengan
tiga lapis yaitu eksokarp, mesokarp dan endokarp
yang mampu melindungi embrio. Buah/biji
dari tumbuhan ini
terbawa oleh arus air sehingga dapat mencapai tempat
yang jauh.
Proses
dispersal eboni pada umumnya dengan perantara hewan (zookori). Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan
monyet, bajing atau kelelawar yang dengan demikian bertindak sebagai agen
pemencar biji (Lemmens
et al., 1995).
D.
Invasi
Weaver
dan Frederic (1978)
dalam Djufri (2004)
mengatakan bahwa invasi adalah pergerakan satu atau lebih tumbuhan dari satu
area ke area lainnya dan pada akhirnya mereka menetap di tempat tersebut.
Proses ini berlangsung secara kompleks melalui peristiwa migrasi, eksistensi
dan kompetisi sebagai tahapan penting dalam invasi, yang seluruhnya terkait
dengan waktu. Invasi umumnya terjadi di daerah yang gundul, tetapi dapat juga
terjadi di area yang ada tumbuhan. Invasi merupakan bentuk permulaan suksesi
yang pada akhirnya secara terus menerus akan menghasilkan tahapan suksesi
hingga terbentuk klimaks. Biasanya invasi ke komunitas klimaks tidak efektif,
kenyataannya invasi biasanya terjadi pada area yang populasinya jarang,
sehingga menghasilkan tahapan perkembangan yang baru.
Kedatangan spesies asing (invader) ke suatu habitat baru yang kondisi lingkungannya berbeda
dengan kondisi lingkungan di daerah asalnya, tidak akan menyebabkan terjadinya
kompetisi yang kuat dengan spesies asli. Spesies asing ini hanya akan menjadi tumbuhan
pengganggu di habitat baru tersebut. Setelah fase permulaan invasi atau fase
pionir, tmbuhan asli dan asing dalam kondisi kritis. Komunitas spesies asli
akan diserang spesies asing pada intesitas kompetisi yang sama tingginya atau
dibawahnya atau diatasnya, hal ini juga terkait dengan habitusnya. Spesies
pohon di hutan yang berhabitus tinggi umumnya tidak segera terpengaruh oleh
serangan spesies asing mengingat spesies asing tersebut masih harus menghadapi tekanan
lingkungan untuk keberhasilan perkecambahan bibit, serta pertumbuhan anakan dan
dewasa (Djufri, 2004).
Invasi akan
sempurna apabila telah melalui tiga tahap sebagai berikut:
a.
Tahap pertama adalah
dispersi. Biji-bijian, buah-buahan, spora atau bakal kehidupan yang lainnya
dapat pindah ke suatu daerah baru dengan perantara angin, air dan hewan. Proses
tempat bakal kehidupan berpindah dan meninggalkan induknya menuju ke suatu
daerah baru dan menetap di dalamnya dikenal sebagai dispersi.
b.
Tahap kedua dalam
invasi adalah penyesuaian. Penyesuaian merupakan proses tempat bakal kehidupan
berusaha membuat daerah yang ditempati sebagai rumahnya. Contoh tahap
penyesuaian pada tumbuhan antara lain kemampuan biji untuk berkecambah,
kemampuan semai untuk tumbuh menjadi besar, dan kemampuan tumbuhan untuk
bereproduksi. Jika suatu kehidupan gagal berkecambah, tidak mampu tumbuh bahkan
gagal dalam bereproduksi, maka secara sederhana datangnya bakal kehidupan dalam
daerah baru itu tidak merupakan invasi yang sempurna.
c.
Tahap ketiga dalam
invasi adalah agregasi. Agregasi merupakan penggabungan dari setiap bakal
kehidupan atau organisme yang datang ke daerah baru. Adanya agregasi
menyebabkan beberapa organisme bergabung dalam populasi yang besar pada suatu
daerah tertentu. Jadi keberhasilan invasi bergantung kepada kemampuan suatu
organisme untuk bereproduksi di kondisi lingkungan yang baru, kemudian setiap
organisme yang sejenis akan bergabung membentuk populasi yang masing-masing
populasi tersebut berupaya untuk menjadi satu kesatuan dalam komunitas dan
ekosistem (Indriyanto (2006)
dalam Nasri (2011)).
Di
dalam kawasan Hutan Alam Palanro Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin, pinang tumbuh sebagai salah satu tanaman
yang mendominasi. Jenis-jenis pohon yang berasosiasi dengan pinang antara lain eboni (Diospyros
celebica), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium
domesticum) dan nyatoh
(Palaquium obovatum). Pohon-pohon
tersebut merupakan campuran antara pohon yang ditanam dan yang tumbuh secara
alami kemudian dibiarkan membentuk tegakan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh
masyarakat. Pohon-pohon yang tumbuh dan menyebar secara alami antara lain
adalah berbagai jenis seperti ficus, garcinia dan nyatoh (Palaquium obovatum). Adapun pohon-pohon yang dibudidayakan antara
lain pinang (Areca catechu), eboni (Diospyros
celebica) dan
aren (Arenga pinnata)
yang penanamannya dilakukan pada zaman Kolonial Belanda (Nurkin,
2011).
Menurut
pengelola Hutan Eboni Masyarakat (HEM) yang juga merupakan bagian dari Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin pada
awalnya kawasan tersebut merupakan kebun-kebun campuran dan bagian dari
pemukiman masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Rumah-rumah masyarakat
dibangun di sekitar atau di dalam kebun. Karena gangguan keamanan sejak akhir
tahun 60an rumah-rumah tersebut dipindahkan dan dibangun dalam satu hamparan
pemukiman yang berdekatan dengan prasarana jalan raya. Setelah pemukiman
dipindahkan, kebun-kebun campuran yang pada awalnya memang didominasi
pohon-pohon akhirnya semakin rapat tegakannya karena adanya invasi secara alami
dari berbagai spesies pohon yang dapat tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon
eboni, diantaranya pinang dan aren (Nurkin,
2011). Pinang dan beberapa
pohon lainnya tumbuh terpencar-pencar dan hanya mengelompok pada tempat-tempat
tertentu.
Dalam perkembangannya pohon pinang yang pertumbuhannya semakin rapat menghambat cahaya masuk ke lantai hutan sehingga mengganggu pertumbuhan anakan pohon yang tumbuh menjadi lebih besar. Selanjutnya terjadi kompetisi dan reaksi yang menyebabkan terbatasnya cahaya dan air sehingga terjadi interaksi yang rumit yang menyebabkan terjadinya invasi secara alami oleh pinang. Dengan berinvasi, pinang akan mampu membuat daerah baru dan jika terjadi secara terus menerus maka akan menguasai lahan tersebut sehingga akan mengancam keberadaan tumbuhan lain dalam kawasan tersebut. Djufri (2004) mengatakan bahwa proses invasi dimulai dari migrasi, agregasi, kompetisi dan reaksi.
Dalam perkembangannya pohon pinang yang pertumbuhannya semakin rapat menghambat cahaya masuk ke lantai hutan sehingga mengganggu pertumbuhan anakan pohon yang tumbuh menjadi lebih besar. Selanjutnya terjadi kompetisi dan reaksi yang menyebabkan terbatasnya cahaya dan air sehingga terjadi interaksi yang rumit yang menyebabkan terjadinya invasi secara alami oleh pinang. Dengan berinvasi, pinang akan mampu membuat daerah baru dan jika terjadi secara terus menerus maka akan menguasai lahan tersebut sehingga akan mengancam keberadaan tumbuhan lain dalam kawasan tersebut. Djufri (2004) mengatakan bahwa proses invasi dimulai dari migrasi, agregasi, kompetisi dan reaksi.
DAFTAR PUSTAKA
AIDIA, M. (2011) Taksonomi dan Morfologi Pinang Sirih (Areca catechu L.). Sabtu, 12 Maret 2011
pukul 23.01 ed., Kumpulan Bahan Kuliah.
ARIEF, A. (2012) Makalah Morfologi Fisiologi Anatomi
Tumbuhan Pinang (Areca catechu).
Gowa, Universitas Islam Negeri Makassar.
ASRIANNY & DJUAN, A. (2010) Pola Penyebaran dan
Struktur Populasi eboni (Diospyros
celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros
Propinsi Sulawesi Selatan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas.
CAPAH, R. H. (2011) Agen Penyebaran Tumbuhan. Jurnal
Geografi Universitas Negeri Medan.
DERMAWAN, E. (2008) Sekilas Tentang Pembibitan Pinang.
Minggu, 06 April 2008 ed., Forum Komunikasi PBT.
DJUAN, A. (2010) Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis pohon di Kawasan Hutan
Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Fakultas Kehutanan. Makassar,
Universitas Hasanuddin.
DJUFRI (2004) Invasi Spesies Eksotik Akasia berduri (Acacia nilotica) (L.) Wild ex Del. Di
Taman Nasional Baluran Jawa Timur: Ancaman Terhadap Eksistensi Savana. PPLH-LPPM UNS Surakarta.
HATA, K., SUZUKI, J. & KACHI, N. (2010) Fine-Scale
Spatial Distribution of Seedling Establishment of The Invasive Plant, Leucaena
Leucocephala on An Oceanic Island After Feral Goat Extermination.
INDRIYANTO (2006) Ekologi
Hutan, Jakarta, PT Bumi Aksara.
INDRIYANTO (2008) Pengantar
Budidaya Hutan, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.
LEMMENS, R. H. M. J., SOERIANEGARA, I. & W.C, W.
(1995) Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 5 (2) Timber Trees: Minor commercial timbers.
Backhuys Publishers, Leiden.
MARPAUNG, B. A. (2011) Struktur Vegetasi. Boy Andreas
Marpaung/DKK-002
MIFTAHORRACHMAN & MASKROMO, I. (2007) Jarak
Genetik Sebelas Aksesi Plasma Nutfah Pinang (Areca catechu L.) Asal Kalimantan Barat. Buletin Palma No. 33 Desember 2007
NASRI (2011) Invasi Kembang Kecrutan (Spathodea campanulata P. Beauv) di Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Kehutanan. Makassar,
Universitas Hasanuddin.
NICOTRA, A., CHAZDON, R. & IRIARTO, S. (1999)
Spatial Heterogenity of Light and Woody Seedling Regeneration in Tropical Wet
Forest.
NURKIN, B. (2011) Keterlibatan Masyarakat dalam Upaya
Konservasi Eboni di Maros Sulawesi Selatan.
ODUM, E. P. (1993) Dasar-Dasar
Ekologi Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.
ONLINE, A. (2012) Budidaya Pinang.
PIJL, L. V. D. (1982) Asas-Asas Pemencaran Pada Tumbuhan Tinggi, Yogyakarta, Gadjah Mada
University Press.
SANTOSO, B. (2002) Efektivitas Pupuk Organik dan Pupuk
N pada Pertumbuhan Bibit Eboni (Diospyros
celebica Bakh.). Manajemen Eboni (Diospyros celebica Bakh.) dalam
Mendukung Keunggulan Industri Menuju Otonomisasi dan Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian Biologi - LIPI Bogor.
SEPTIYANI, Y. (2010) Struktur Komunitas dan Regenerasi
Tegakan Hutan di Kawasan Konservasi Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Fakultas Biologi Jakarta, Universitas
nasional Jakarta.
SOLIKIN (2011) Sebaran Anakan Mahoni (Sweitenia macrophylla King.) di Kebun
Raya Purwodadi. Berk. Penel. Hayati Edisi
Khusus: 7A (47-50).
WEAVER, J. E. & FREDERIC, E. C. (1978) Plant Ecology, New Delhi, Tata
McGraw-Hill Publishing Company Ltd.
WHITTEN, A. J., MUSTAFA, M. & HENDERSON, G. S.
(1987) Ekologi Sulawesi, Yogyakarta,
Gadjah Mada University Press.
Ini proposal penelitian saya guys setahun yang lalu (November, 2012). Maaf bagian "Metode Penelitian" tidak ikut dicantumkan dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi bagi teman-teman yang ingin sharing tentang pinang (Areca catechu) atau tentang invasi maupun spesies invasif bisa meninggalkan komentar atau menghubungi saya via social media yang terpasang di blog. Part "Hasil dan Pembahasan" masih dalam proses penyelesaian dan sedang saya usahakan selesaikan dalam waktu dekat agar bisa segera menyandang gelar S,Hut dibelakang nama Hulyana Gatta. Buat kalian yang memilih topik penelitian seperti ini two thumbs up deh. Kalian adalah orang-orang yang berani terjun ke lapangan, berani menerjang panas dan hujan, berani bertemu satwa liar, berani ketemu pohon besar yang konon katanya ishhhhhh... berani kotor dan... karena berani kotor itu baik.
1 Komentar:
yup, ada yg mau sy tanyakan tentang jenis2 pinang, seluruh Indonesia apakah sama?
Post a Comment