Oct 17, 2013

I.  PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pinang (Areca catechu) merupakan tumbuhan famili Arecaceae atau palem-paleman yang dapat mencapai tinggi 15-25 meter dengan batang tegak lurus. Tumbuhan ini berbunga pada awal dan akhir musim hujan serta memiliki masa hidup 25-30 tahun. Ada beberapa jenis pinang diantaranya pinang kuning (Areca cathecu var alba), pinang seribu (Areca macrocalyx Zipp. ex Blume), pinang kelapa (Actinorhytis calapparia (Bl.) Wendl) dan pinang merah (Areca vestiaria). Pinang telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, misalnya untuk ramuan obat, bahan baku industri, bahan bangunan dan tanaman pagar (Arief, 2012)
Sejarah mengenai asal usul tumbuhan ini masih beragam. Diperkirakan berasal dari daratan Asia seperti Malaya, India, Indonesia dan beberapa daerah di Kepulauan Pasifik. Sejalan  dengan waktu, jenis tumbuhan ini mulai dikenal luas di Indonesia karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah meliputi Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Pinang umumnya ditanam di pekarangan dan dibudidayakan serta kadang tumbuh liar di tepi sungai dan di tempat-tempat lain (Whitmore, 1973).
Hingga saat ini dalam kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin banyak dijumpai pinang, khususnya di kawasan Hutan Alam Palanro. Jenis tumbuhan monokotil ini tumbuh secara berpencar atau mengelompok pada tempat-tempat tertentu. Menurut Nurkin (2011), pinang yang tumbuh di kawasan tersebut merupakan tanaman hasil budidaya bersama dengan, aren, eboni dan kemiri yang penanamannya dilakukan pada zaman kolonial Belanda. Adapun jenis-jenis pohon yang berasosiasi dengan pinang antara lain eboni (Diospyros celebica), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium domesticum), lento-lento (Arthrophyllum sp), ni’ning (Myrtaceae) dan jambu (Syzigium sp). Pinang dan aren merupakan pohon-pohon yang berada pada lapisan paling atas yaitu pada zona 20–24 m. Sedangkan bagian paling bawah antara 0-4 m  ditempati oleh berbagai jenis-jenis tumbuhan bawah dan anakan pohon-pohon dari berbagai spesies  termasuk anakan eboni dalam tingkat pertumbuhan semai maupun pancang.
Hubungan atau asosiasi yang terjadi antara pinang dan tumbuhan lainnya merupakan asosiasi positif dan negatif. Asosiasi positif terjadi ketika pinang dapat berfungsi sebagai pohon penaung bagi anakan pohon lain yang masih dalam tahap semai sampai tingkat tiang sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan menghasilkan anakan pohon yang cukup melimpah. Sedangkan apabila anakan pohon sudah tumbuh menjadi lebih besar maka ada kemungkinan terjadi asosiasi negatif yaitu ketika pohon pinang yang pertumbuhannya rapat menghambat cahaya masuk ke lantai hutan sehingga mengganggu pertumbuhan tumbuhan lain yang ada disekitarnya.
Nurkin (2011) menyatakan bahwa, pinang merupakan salah satu tumbuhan dominan, dimana jumlahnya lebih banyak dari jenis lainnya. Dengan demikian, jelas bahwa dominasi pinang akan menghambat penetrasi cahaya ke lantai hutan dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang tumbuh berdampingan atau berada di bawah naungannya. Eboni (Diospyros celebica) yang merupakan tumbuhan endemik Sulawesi yang ada di Kawasan Hutan Pendidikan diketahui anakannya sering dijumpai berada di bawah pohon pinang. Menurut Djuan (2010), tingkat regenerasi eboni di alam tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh sifatnya yang semi-toleran, dimana pada tingkat semai eboni membutuhkan tanaman penaung dan pada saat percabangan sekundernya terbentuk dia  membutuhkan intensitas cahaya yang secara bertahap bertambah seiring dengan tingkat pertumbuhannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (2002) dalam Asrianny dan Djuan (2010) bahwa, anakan eboni dijumpai dalam jumlah yang cukup banyak di sekitar pohon induknya. Eboni membutuhkan tanaman pendamping, dimana tanaman pendamping itu mempunyai laju pertumbuhan cepat, bentuk batang yang lurus dan tinggi serta memiliki masa hidup yang tidak terlalu lama. Tanaman pendamping ini dibutuhkan agar pertumbuhan horizontal eboni semakin maksimum.  Pertumbuhan horizontal eboni akan berhenti jika berada lebih tinggi 1,5-2 m dari tajuk pohon tanaman pendampingnya.  Jika tanaman pendampingnya semakin tinggi, maka semakin tinggi pula eboninya.
Dengan melihat adanya hubungan antara pinang dengan tumbuhan lain yang berada disekitarnya, maka dukungan data mengenai keberadaan pinang di dalam kawasan Hutan Alam Palanro sangat dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana tumbuhan pinang menguasai kawasan tersebut dan melihat interaksi lebih jauh  antara tumbuhan pinang dengan tumbuhan lain. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan invasi  pinang ke dalam kawasan Hutan Alam Palanro Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin.


B.     Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui regenerasi alami dan invasi pinang ke dalam kawasan Hutan Alam Palanro Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi mengenai faktor-faktor penting berkaitan dengan regenerasi alami tanaman pinang yang diharapkan dapat digunakan dalam upaya pengelolaan hutan dan pelestarian jenis-jenis tumbuhan di kawasan tersebut  di masa mendatang.



II.  TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi dan Deskripsi Pinang (Areca catechu)
1. Sistematika
Klasifikasi dari tumbuhan pinang (Areca catechu) (Aidia, 2011)  adalah sebagai berikut:
Regnum             : Plantae
Divisi                 : Spermatophyta
Kelas                  : Monocotile
Ordo                  : Arecales
Famili                 : Arecaceae
Genus                : Areca            
Spesies               : Areca catechu
2.      Morfologi
Pinang merupakan tanaman famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-25 meter dengan batang berbentuk bulat dan tegak lurus. Pembentukan batang baru terjadi setelah 2 tahun. Tanaman ini mulai berbunga pada umur 4-6 tahun dan berbuah pada umur 5-8 tahun tergantung keadaan tanah. Bunganya berbentuk rangkaian (infloresence), berupa tandan yang terletak di bawah pelepah daun. Setiap tandan bunga ditutupi oleh seludang (spathe) yang panjangnya rata–rata 75 cm. Buah pinang berbentuk bulat telur, panjang buah antara 3-7 cm dengan diameter buah antara 4-5 cm. Buah pinang terdiri atas 3 lapisan yaitu lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp) berupa serabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji. Buah berwarna hijau ketika masih muda dan berubah menjadi jingga atau merah kekuningan setelah masak (Arief, 2012). Pada batang terdapat bekas–bekas daun yang dapat dipakai untuk menduga umur tanaman. Pinang yang baru tumbuh tunasnya berakar tunggang, namun karena perkembangan akar tersebut maka makin lama tumbuh akar-akar lainnya, sehingga fungsi dan bentuknya sama seperti akar serabut. Banyaknya akar serabut tergantung dari kesuburan tanah, iklim setempat dan kesuburan tanaman. Ada beberapa jenis pinang, diantaranya adalah pinang kuning (Areca cathecu var alba), pinang seribu (Areca macrocalyx Zipp. ex Blume), pinang kelapa (Actinorhytis calapparia (Bl.) Wendl) dan pinang merah (Areca vestiaria).
Salah satu jenis pinang yang sudah dikenal masyarakat adalah pinang sirih.  Tanaman ini tumbuh satu-satu, tidak berumpun seperti jenis palem umumnya. Batang lurus agak licin tinggi dapat mencapai 25 m dengan diameter batang atau jarak antar-ruas batang sekitar 15 cm. Garis lingkaran batang tampak jelas. Buah berbentuk bulat telur, mirip telur ayam, dengan ukuran sekitar 3,5-7,7 cm. Buah berwarna hijau sewaktu muda dan merah jingga atau merah kekuningan saat masak tua (Arief, 2012).

3.      Penyebaran
Pinang adalah jenis palma yang tumbuh di daerah Pasifik, Asia dan Afrika Bagian Timur. Di Asia penyebarannya meliputi Indonesia, China, India, Pakistan, Maldivas, Taiwan dan Nepal. Tanaman ini sudah dikenal luas di Indonesia karena secara alami penyebarannya cukup luas di berbagai daerah diantaranya Sumatera, Kalimantan, Papua dan Sulawesi (Miftahorrachman and Maskromo, 2007). Di Sulawesi selatan tanaman pinang terdapat salah satunya di Kabupaten Maros. Tanaman ini  memiliki nama daerah seperti jambe, penang, wohan (Jawa), pineung, pining, boni (Sumatera), alosi/nyangan/luguto (Sulawesi) dan bua/winu (Maluku) (Budiman, 2012).
Setiap tanaman memerlukan syarat tumbuh yang berbeda, bila tanaman berada di tempat yang sesuai dengan syarat tumbuhnya maka akan memberikan dampak yang baik sehingga menghasilkan pertumbuhan dan produksi yang optimal. Pinang dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 1-1.400 meter dpl (diatas permukaan laut). Membutuhkan curah hujan antara 2.000-3.000 mm/tahun dengan bulan basah antara 3-6 bulan atau tersedia air sepanjang tahun (pada lahan pasang surut). Selain itu  pinang dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimum antara 20º-32º C, dengan kelembaban udara antara 50-90 %. Keasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman pinang (pH) adalah sekitar 4-8. Tanaman pinang memerlukan penyinaran langsung untuk pertumbuhannya di lapangan untuk memperoleh produksi secara optimal (Dermawan, 2008).

4.      Kegunaan
Pinang merupakan tumbuhan serbaguna diantaranya sering dijadikan tanaman pagar, penghijauan, bahan baku bangunan dan bagian-bagian tanaman lainnya sangat berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit. Daun pinang mengandung minyak atsiri yang dapat mengobati gangguan radang tenggorokan. Pucuk daun muda yang rasanya pahit pun dapat dijadikan obat nyeri otot. Selain obat, daun pinang dijadikan sebagai pucuk pupuk hijau. Pelepah pinang dapat dipakai sebagai bahan baku pembungkus makanan, seperti pembungkus gula merah, gula aren dan gula tebu (Online, 2012). Biji pinang ini telah dimanfaatkan sebagai obat sejak ribuan tahun Sebelum Masehi, terutama di Mesir.
Batang pinang berguna sebagai bahan bangunan, jembatan dan saluran air . Tanamannya sendiri dapat dipakai untuk mencegah terjadinya erosi dan tanah longsor. Buah pinang memiliki bagian bersabut yang dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kuas gambar atau kuas alis mata. Biji berguna untuk bahan makanan, bahan baku industri seperti pewarna kain dan obat. Biji pinang sebagai penyusun ramuan obat sudah masuk ke dalam daftar prioritas WHO (Word Health Organization / Organisasi Kesehatan Dunia) yang bernaung di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (Djufri, 2004).


B.     Regenerasi
Regenerasi jenis-jenis tumbuhan di alam sangat penting bagi kelestarian tanaman dan lingkungan. Regenerasi tumbuhan diawali dengan produksi biji, perkecambahan, pertumbuhan, dan perkembangan tumbuhan. Proses ini dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti media, kelembaban, temperatur, cahaya dan tumbuhan lain disekitarnya. Variasi dari faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kemampuan regenerasi dan sebaran jenis tumbuhan pada suatu hamparan lahan. Nicotra et al. (1999) dalam Solikin (2011), melaporkan bahwa jumlah dan distribusi intensitas cahaya yang dapat diterima dan diteruskan oleh kanopi tumbuhan dan permukaan tanah dapat berpengaruh terhadap pola regenerasi anakan jenis-jenis tanaman. Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelimpahan anakan memiliki korelasi  dengan distribusi cahaya dan jarak dengan tanaman induknya. Dimana pada jumlah anakan tanaman lamtoro (Leucaena leocochepala) setinggi < 1,3 m berkorelasi negatif dengan jarak antara anakan dengan posisi tanaman L. leucochepala dewasa yang berada pada tingkat penutupan vegetasi herba (Hata et al. (2010) dalam Solikin (2011)).
Hutan akan lestari apabila proses regenerasi tegakan berjalan baik, dengan melalui pemudaan alam atau buatan (penanganan manusia) yang selanjutnya membentuk interaksi yang erat, baik di antara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh secara dinamis (Indriyanto (2008) dalam Septiyani (2010)). Pemahaman tentang struktur vegetasi penting dalam kegiatan penelitian ekologi hutan. Kesalahan identifikasi struktur akan menyebabkan kesalahan dalam memahami kondisi hutan yang sebenarnya. Struktur hutan yang dimaksudkan adalah komponen penyusun hutan itu sendiri. Penjelasan tentang masing-masing struktur vegetasi  (Marpaung, 2011) adalah sebagai berikut:
a.        Pohon adalah tumbuhan dengan diameter lebih dari 20 cm.
b.       Tiang adalah tumbuhan dengan diameter antara 10-20 cm.
c.        Pancang adalah regenerasi pohon dengan ukuran lebih tinggi dari 1,5 meter serta diameter batang kurang dari 10 cm.
d.       Semai/anakan adalah regenerasi awal dari pohon dengan ukuran ketinggian kurang dari 1,5 meter.
e.        Tumbuhan bawah adalah semua tumbuhan yang hidup di lantai hutan kecuali regenerasi pohon (anakan dan pancang). Misalnya, beberapa tumbuhan bawah diantaranya adalah keluarga palem-paleman jika tingkatan pohon dewasanya lebih tinggi dari 1,5 meter; pandan, tidak ada kategori untuk jenis tumbuhan bawah ini; paku-pakuan dan semak atau herba lainnya.

Secara alami, tumbuhan mampu memperbanyak dirinya melalui regenerasi. Siklus lengkap tumbuhan diawali oleh biji yang selanjutnya tumbuh menjadi semai (seedling), pancang (sapling), tiang (pole), dan tumbuhan dewasa atau pohon (tree). Pada tingkatan pohon dewasa, tumbuhan akan siap untuk memproduksi biji sebagai alat regenerasi. Tanaman pinang beregenerasi melalui bijinya yang sudah cukup masak. Tanaman ini sangat sesuai pada daerah bertipe iklim sedang dan agak basah. Dalam kegiatan budidaya, biasanya biji yang sudah masak disemai dulu dan kemudian ditanam dalam polybag. Ketika masih kecil tanaman ini cocok dijadikan hiasan dalam pot. Apabila sudah besar sebaiknya ditanam di tanah bebas.


C.    Dispersal
Kata dispersal berasal dari istilah ekologi untuk menggambarkan penyebaran organisme dari tempat asalnya. Dispersal adalah gerakan individu atau bentuk kecilnya (misalnya spora, biji, telur dan sebagainya) ke dalam atau ke luar populasi atau daerah populasi. Atau dengan kata lain untuk memperluas daerahnya, tumbuhan melakukan dispersal atau pemencaran/penyebaran. Menurut Odum (1993), pengetahuan mengenai penyebaran sangat penting untuk mengetahui tingkat pengelompokkan dari individu yang dapat memberikan dampak terhadap populasi daripada rata-rata per unit area.
Pijl (1982) menjumpai adanya karakteristik tertentu pada tipe-tipe buah dan biji yang diduga merupakan mekanisme alami untuk menyesuaikan diri dengan agen penyebar buah/bijinya. Penyebaran tersebut berlangsung dengan dua cara yaitu penyebaran tanpa bantuan luar, misalnya proses pemecahan cangkang buah akibat panas matahari yang menyebabkan biji terpelanting menjauhi induknya, contoh: pada petai cina, biji karet, kacang kedelai ; dan penyebaran dengan bantuan faktor luar, yaitu penyebaran bantuan dengan bantuan unsur abiotik (udara/angin, air, gravitasi, tanah) dan unsur biotik (organisme lain). Faktor yang membantu proses dispersal sering disebut sebagai agen dispersal atau penyebaran organisme.
Tumbuhan mempertahankan jenisnya dengan melakukan dispersal. Untuk penyebaran keturunannya, tumbuhan melakukan mekanisme alami dengan membentuk struktur morfologis tertentu maupun melangsungkan proses-proses tertentu pada bijinya. Meskipun menurut Whitten (1987), berbagai jenis pohon yang tumbuh dalam suatu rumpang seringkali tidak terus-menerus menghasilkan biji-biji dalam jumlah yang besar. Berbagai penelitian membuktikan adanya interaksi antara tanaman dengan agen tertentu dalam mekanisme penyebaran bijinya. Agen pembantu penyebaran biji ini dapat berupa agen biotik (burung, mamalia, serangga) maupun abiotik (angin, air, gravitasi). Macam-macam agen penyebaran tumbuhan sebagai berikut:
1.      Penyebaran tumbuhan dengan perantara angin
Penyebaran tumbuhan oleh angin adalah penyebaran yang memanfaatkan hembusan angin yang membawa biji atau buah dari tanaman jauh dari induknya ke tempat lain dan tumbuh serta berkembang di sana. Tumbuhan yang penyebarannya dibantu oleh angin disebut dengan anemokori. Tumbuhan yang penyebarannya dibantu oleh angin umumnya memiliki ciri-ciri biji berbulu atau berambut. Contohnya alang-alang (Imperata cylindrica), kapuk/kapas (Ceiba petandra). Biji terpencar apabila tangkainya tergoyang oleh angin maka biji akan keluar lewat lubang atau celah pada biji, contohnya opium (Papaver sp.). Biji kecil dan ringan, contohnya anggrek (famili Orchidaceae). Buah bersayap, contohnya meranti, tengkawang (famili Dipterocarpaceae) dan buah berambut, contohnya  Anemones sp.
2.      Penyebaran tumbuhan dengan perantara air
Buah-buah yang penyebarannya oleh air pada umumnya memiliki jaringan pengapung (seperti gabus) yang terisi udara atau jaringan yang tak basah oleh air. Misalnya adalah jaringan sabut pada buah-buah kelapa (Cocos), ketapang (Terminalia) atau putat (Barringtonia). Tumbuhan yang penyebarannya (biji/buahnya) dibantu oleh air disebut hidrokori. Penyebaran secara hydrokori  dapat mencapai tempat yang sangat jauh, karena buah/biji dari tanaman itu akan terbawa oleh arus air tersebut. Ciri – ciri dari biji dari jenis penyebaran ini adalah berbobot ringan dan memiliki pelindung yang baik bagi embrionya (biji). Oleh karena itu, biasanya buah pinang memiliki struktur kulit buah dengan tiga lapis, yaitu eksokarp dimana kulit yang paling luar mengkilap, tipis, dan kuat. Lapisan mesokarp, kulit yang tengah yang tebal berisi rongga udara sehingga biji menjadi ringan dan mengambang di air dan endokarp memiliki kulit yang paling dalam yang nampak kuat dan keras yang berfungsi untuk melindungi embrio. Contoh tumbuhan yang menyebarkan bijinya dibantu oleh air adalah kelapa (cocos nucifera), buah nyamplung (Calophyllum inophyllum), eceng gondok (Eichornia crassipes), teratai (Niphea sp.), bakau (Rhizopora sp.).
3.      Penyebaran tumbuhan dengan perantara hewan
Penyebaran tumbuhan dengan bantuan hewan (zookori) biasanya terjadi pada tumbuhan yang memiliki buah berair dan buah kacang-kacangan. Hewan yang berperan biasanya burung, kelelawar, tikus, serangga, dan mamalia yang memakan buah tersebut. Biji dari buah yang dimakan tidak dapat dicerna karena terlalu keras sehingga biji-biji tersebut dikeluarkan bersama kotoran diberbagai tempat yang dilalui oleh hewan tersebut. Penyebaran seperti ini dalam biologi biasanya disebut endozoik.
4.  Penyebaran tumbuhan dengan perantara manusia
Manusia memiliki pengaruh yang cukup besar dalam persebaran tumbuhan. Penyebaran dengan perantara manusia dibedakan atas dua yaitu penyebaran disengaja, dimana penyebaran dilakukan untuk kepentingan hidup manusia. Contohnya kopi dan kelapa sawit yang didatangkan dari Afrika, kina dan karet dari Amerika Selatan. Serta penyebaran tidak disengaja, misalnya melalui biji yang menempel pada pakaian manusia dan terbawa ke daerah bahkan ke Negara lain. Contohnya berbagai biji rumput-rumputan. Proses penyebaran ini disebut antropokori (Capah, 2011).
Proses dispersal pinang diantaranya sangat umum melalui perantara manusia (antropokori). Biasanya diambil bijinya/anakannya kemudian ditanam di pekarangan rumah sebagai hiasan dan obat. Jika dilihat dari karakteristik buahnya, proses dispersal tumbuhan pinang juga dibantu oleh air (hydrokori) karena memiliki jaringan pengapung (seperti gabus) serta memiliki struktur kulit buah dengan tiga lapis yaitu eksokarp, mesokarp dan endokarp yang mampu melindungi embrio. Buah/biji dari tumbuhan ini terbawa oleh arus air sehingga dapat mencapai tempat yang jauh.
Proses dispersal eboni pada umumnya dengan perantara hewan (zookori). Daging buahnya yang berwarna keputihan kerap dimakan monyet, bajing atau kelelawar yang dengan demikian bertindak sebagai agen pemencar biji (Lemmens et al., 1995).

D.    Invasi
Weaver dan Frederic (1978) dalam Djufri (2004) mengatakan bahwa invasi adalah pergerakan satu atau lebih tumbuhan dari satu area ke area lainnya dan pada akhirnya mereka menetap di tempat tersebut. Proses ini berlangsung secara kompleks melalui peristiwa migrasi, eksistensi dan kompetisi sebagai tahapan penting dalam invasi, yang seluruhnya terkait dengan waktu. Invasi umumnya terjadi di daerah yang gundul, tetapi dapat juga terjadi di area yang ada tumbuhan. Invasi merupakan bentuk permulaan suksesi yang pada akhirnya secara terus menerus akan menghasilkan tahapan suksesi hingga terbentuk klimaks. Biasanya invasi ke komunitas klimaks tidak efektif, kenyataannya invasi biasanya terjadi pada area yang populasinya jarang, sehingga menghasilkan tahapan perkembangan yang baru.
Kedatangan spesies asing (invader) ke suatu habitat baru yang kondisi lingkungannya berbeda dengan kondisi lingkungan di daerah asalnya, tidak akan menyebabkan terjadinya kompetisi yang kuat dengan spesies asli. Spesies asing ini hanya akan menjadi tumbuhan pengganggu di habitat baru tersebut. Setelah fase permulaan invasi atau fase pionir, tmbuhan asli dan asing dalam kondisi kritis. Komunitas spesies asli akan diserang spesies asing pada intesitas kompetisi yang sama tingginya atau dibawahnya atau diatasnya, hal ini juga terkait dengan habitusnya. Spesies pohon di hutan yang berhabitus tinggi umumnya tidak segera terpengaruh oleh serangan spesies asing mengingat spesies asing tersebut masih harus menghadapi tekanan lingkungan untuk keberhasilan perkecambahan bibit, serta pertumbuhan anakan dan dewasa (Djufri, 2004).
Invasi akan sempurna apabila telah melalui tiga tahap sebagai berikut:
a.         Tahap pertama adalah dispersi. Biji-bijian, buah-buahan, spora atau bakal kehidupan yang lainnya dapat pindah ke suatu daerah baru dengan perantara angin, air dan hewan. Proses tempat bakal kehidupan berpindah dan meninggalkan induknya menuju ke suatu daerah baru dan menetap di dalamnya dikenal sebagai dispersi.
b.        Tahap kedua dalam invasi adalah penyesuaian. Penyesuaian merupakan proses tempat bakal kehidupan berusaha membuat daerah yang ditempati sebagai rumahnya. Contoh tahap penyesuaian pada tumbuhan antara lain kemampuan biji untuk berkecambah, kemampuan semai untuk tumbuh menjadi besar, dan kemampuan tumbuhan untuk bereproduksi. Jika suatu kehidupan gagal berkecambah, tidak mampu tumbuh bahkan gagal dalam bereproduksi, maka secara sederhana datangnya bakal kehidupan dalam daerah baru itu tidak merupakan invasi yang sempurna.
c.         Tahap ketiga dalam invasi adalah agregasi. Agregasi merupakan penggabungan dari setiap bakal kehidupan atau organisme yang datang ke daerah baru. Adanya agregasi menyebabkan beberapa organisme bergabung dalam populasi yang besar pada suatu daerah tertentu. Jadi keberhasilan invasi bergantung kepada kemampuan suatu organisme untuk bereproduksi di kondisi lingkungan yang baru, kemudian setiap organisme yang sejenis akan bergabung membentuk populasi yang masing-masing populasi tersebut berupaya untuk menjadi satu kesatuan dalam komunitas dan ekosistem (Indriyanto (2006) dalam Nasri (2011)).
Di dalam kawasan Hutan Alam Palanro Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, pinang tumbuh sebagai salah satu tanaman yang mendominasi. Jenis-jenis pohon yang berasosiasi dengan pinang antara lain eboni (Diospyros celebica), aren (Arenga pinnata), langsat (Lansium domesticum) dan nyatoh (Palaquium obovatum). Pohon-pohon tersebut merupakan campuran antara pohon yang ditanam dan yang tumbuh secara alami kemudian dibiarkan membentuk tegakan yang dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pohon-pohon yang tumbuh dan menyebar secara alami antara lain adalah berbagai jenis seperti ficus, garcinia dan nyatoh (Palaquium obovatum). Adapun pohon-pohon yang dibudidayakan antara lain pinang (Areca catechu), eboni (Diospyros celebica) dan aren (Arenga pinnata) yang penanamannya dilakukan pada zaman Kolonial Belanda (Nurkin, 2011). 
Menurut pengelola Hutan Eboni Masyarakat (HEM) yang juga merupakan bagian dari Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin  pada awalnya kawasan tersebut merupakan kebun-kebun campuran dan bagian dari pemukiman masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu. Rumah-rumah masyarakat dibangun di sekitar atau di dalam kebun. Karena gangguan keamanan sejak akhir tahun 60an rumah-rumah tersebut dipindahkan dan dibangun dalam satu hamparan pemukiman yang berdekatan dengan prasarana jalan raya. Setelah pemukiman dipindahkan, kebun-kebun campuran yang pada awalnya memang didominasi pohon-pohon akhirnya semakin rapat tegakannya karena adanya invasi secara alami dari berbagai spesies pohon yang dapat tumbuh berdampingan dengan pohon-pohon eboni, diantaranya pinang dan aren (Nurkin, 2011). Pinang dan beberapa pohon lainnya tumbuh terpencar-pencar dan hanya mengelompok pada tempat-tempat tertentu. 
Dalam perkembangannya pohon pinang yang pertumbuhannya semakin rapat menghambat cahaya masuk ke lantai hutan sehingga mengganggu pertumbuhan anakan pohon yang tumbuh menjadi lebih besar. Selanjutnya terjadi kompetisi dan reaksi yang menyebabkan terbatasnya cahaya dan air sehingga terjadi interaksi yang rumit yang menyebabkan terjadinya invasi secara alami oleh pinang. Dengan berinvasi, pinang akan mampu membuat daerah baru dan jika terjadi secara terus menerus maka akan menguasai lahan tersebut sehingga akan mengancam keberadaan tumbuhan lain dalam kawasan tersebut. Djufri (2004) mengatakan bahwa proses invasi dimulai dari migrasi, agregasi, kompetisi dan reaksi.



DAFTAR PUSTAKA
AIDIA, M. (2011) Taksonomi dan Morfologi Pinang Sirih (Areca catechu L.). Sabtu, 12 Maret 2011 pukul 23.01 ed., Kumpulan Bahan Kuliah.

ARIEF, A. (2012) Makalah Morfologi Fisiologi Anatomi Tumbuhan Pinang (Areca catechu). Gowa, Universitas Islam Negeri Makassar.

ASRIANNY & DJUAN, A. (2010) Pola Penyebaran dan Struktur Populasi eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan. Laboratorium Konservasi Biologi dan Ekowisata Unhas.

CAPAH, R. H. (2011) Agen Penyebaran Tumbuhan. Jurnal Geografi Universitas Negeri Medan.

DERMAWAN, E. (2008) Sekilas Tentang Pembibitan Pinang. Minggu, 06 April 2008 ed., Forum Komunikasi PBT.

DJUAN, A. (2010) Asosiasi Eboni (Diospyros celebica) dengan berbagai jenis pohon di Kawasan Hutan Pendidikan Universitas Hasanuddin, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros. Fakultas Kehutanan. Makassar, Universitas Hasanuddin.

DJUFRI (2004) Invasi Spesies Eksotik Akasia berduri (Acacia nilotica) (L.) Wild ex Del. Di Taman Nasional Baluran Jawa Timur: Ancaman Terhadap Eksistensi Savana. PPLH-LPPM UNS Surakarta.

HATA, K., SUZUKI, J. & KACHI, N. (2010) Fine-Scale Spatial Distribution of Seedling Establishment of The Invasive Plant, Leucaena Leucocephala on An Oceanic Island After Feral Goat Extermination.

INDRIYANTO (2006) Ekologi Hutan, Jakarta, PT Bumi Aksara.

INDRIYANTO (2008) Pengantar Budidaya Hutan, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara.

LEMMENS, R. H. M. J., SOERIANEGARA, I. & W.C, W. (1995) Plant Resources of South-East Asia (PROSEA) No. 5 (2) Timber Trees: Minor commercial timbers. Backhuys Publishers, Leiden.

MARPAUNG, B. A. (2011) Struktur Vegetasi. Boy Andreas Marpaung/DKK-002

MIFTAHORRACHMAN & MASKROMO, I. (2007) Jarak Genetik Sebelas Aksesi Plasma Nutfah Pinang (Areca catechu L.) Asal Kalimantan Barat. Buletin Palma No. 33 Desember 2007

NASRI (2011) Invasi Kembang Kecrutan (Spathodea campanulata P. Beauv) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan. Fakultas Kehutanan. Makassar, Universitas Hasanuddin.

NICOTRA, A., CHAZDON, R. & IRIARTO, S. (1999) Spatial Heterogenity of Light and Woody Seedling Regeneration in Tropical Wet Forest.

NURKIN, B. (2011) Keterlibatan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Eboni di Maros Sulawesi Selatan.

ODUM, E. P. (1993) Dasar-Dasar Ekologi Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

ONLINE, A. (2012) Budidaya Pinang.

PIJL, L. V. D. (1982) Asas-Asas Pemencaran Pada Tumbuhan Tinggi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

SANTOSO, B. (2002) Efektivitas Pupuk Organik dan Pupuk N pada Pertumbuhan Bibit Eboni (Diospyros celebica Bakh.). Manajemen Eboni  (Diospyros celebica Bakh.) dalam Mendukung Keunggulan Industri Menuju Otonomisasi dan Era Pasar Bebas. Pusat Penelitian Biologi - LIPI Bogor.

SEPTIYANI, Y. (2010) Struktur Komunitas dan Regenerasi Tegakan Hutan di Kawasan Konservasi Taman Margasatwa Ragunan Jakarta Selatan. Fakultas Biologi Jakarta, Universitas nasional Jakarta.

SOLIKIN (2011) Sebaran Anakan Mahoni (Sweitenia macrophylla King.) di Kebun Raya Purwodadi. Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 7A (47-50).

WEAVER, J. E. & FREDERIC, E. C. (1978) Plant Ecology, New Delhi, Tata McGraw-Hill Publishing Company Ltd.

WHITTEN, A. J., MUSTAFA, M. & HENDERSON, G. S. (1987) Ekologi Sulawesi, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.


Ini proposal penelitian saya guys setahun yang lalu (November, 2012). Maaf bagian "Metode Penelitian" tidak ikut dicantumkan dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi bagi teman-teman yang ingin sharing tentang pinang (Areca catechu) atau tentang invasi maupun spesies invasif bisa meninggalkan komentar atau menghubungi saya via social media yang terpasang di blog. Part "Hasil dan Pembahasan" masih dalam proses penyelesaian dan sedang saya usahakan selesaikan dalam waktu dekat agar bisa segera menyandang gelar S,Hut dibelakang nama Hulyana Gatta. Buat kalian yang memilih topik penelitian seperti ini two thumbs  up deh. Kalian adalah orang-orang yang berani terjun ke lapangan, berani menerjang panas dan hujan, berani bertemu satwa liar, berani ketemu pohon besar yang konon katanya ishhhhhh... berani kotor dan... karena berani kotor itu baik.

1 Komentar:

Unknown said...

yup, ada yg mau sy tanyakan tentang jenis2 pinang, seluruh Indonesia apakah sama?

Post a Comment

 

Copyright 2010 Chigosan.

Theme by WordpressCenter.com.
Blogger Template by Beta Templates.